Istilah adult
beraal dari kata Latin, seperti juga istilah adolescene – adolescere yang
berarti “tumbuh menjadi kedewasaan.” Akan tetapi kata adult berasal dari
bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah
tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang
sempurna” atau “telah menjadi dewasa.” Oleh karena itu, orang dewasa adalah
individu yang telah menyeleaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam
masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. [1]
Setiap
kebudayaan membuat pembedaan usia kapan seseorang mencapai status dewasa secara
resmi. Pada sebagian besar kebudayaan Kuno, status ini tercapai apabila
pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ
kelamin anak telah berkembang dan mampu berproduksi. Belum lama ini, kebudayaan
Amerika seorang anak belum resmi dianggap dewasa kalau ia belum mencapai umur
21 tahun. Sekarang, umur 18 tahun merupakan umur dimana seseorang dianggap
dewasa secara sah. Dengan meningkatnya lamanya hidup atau panjangnya usia
rata-rata orang maka masa dewasa sekarang kurang mencakupwaktu yang paling lama
dalam rentang hidup.
Masa dewasa
terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
1.
Masa
Dewasa Dini
Masa dewasa dini dimulai pada umur
18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif
2.
Masa
Dewasa Madya
Masa dewasa madya dimulai pada umur
40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan
psikologis yang jelas nampak pada setiap orang.
3.
Masa
Dewasa Lanjut (Usia Lanjut)
Masa dewasa lanjut atau usia lanjut
dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini, baik kemampuan
fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta
upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan wanita
berpenampilan, bertindak dan berperasaan seperti kala mereka masih lebih muda.[2]
Batas usia-usia
dini dan usia lanjut bagi masyarakat yang berbeda, bisa berbeda juga. Di
Jepang, misalnya, di mana usia harapan hidupnya mencapai 72 tahun, seseorang
yang berusia 69 tahun masih dianggap termasuk usia madya (usia pertengahan).
Sedangkan di Indonesia, yang usia harapan hidupnya 62 tahun, orang tersebut
sudah dianggap manusia lansia (lanjut usia).[3]
Memasuki alam kedewasaan, seorang laki-laki harus mempersiapkan
diri untuk dapat hidup dan menghidupi keluarganya. Ia harus mulai bekerja
mencari nafkah dan membina kariernya. Kaum perempuan juga harus mempersiapkan
diri untuk berumah tangga. Di Indonesia masih terdapat resiko untuk dianggap
“perawan tua”, kalau belum mendapat pasangan pada umur tiga puluhan. Kalau ia
berhasil mendapatkan suami, maka timbul pula problem-problem keluarga dan
problem-problem mengenai anak-anaknya. Demikian seterusnya, problem-problem itu
selalu berdatangan.
Di dalam masyarakat pada umumnya, pria dan perempuan mempunyai
peranan yang berbeda. Laki-laki mencari nafkah, agresif, dan dominan. Sedangkan
perempuan mengurus rumah tangga, pasif dan lebih submisif. Perilakunya pun
berbeda, pria lebih kasar, perempuan lebih halus. Perbedaan itu ternyata tidak
semata-mata disebabkannoleh faktor-faktor biologis, tetapi lebih banyak lagi
ditentukan oleh faktor-faktor kebudayaan.
Namun, di lingkungan psikologi sendiri pembagian peran
lelaki-perempuan sudah menjadi isu yang kontroversial sejak lama. Salah satunya
adalah Sandra Bem (1974) yang membuktikan bahwa walaupun ditinjau dari tubuhnya
ada dua macam manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, secara psikologi ada
empat jenis kelamin (gender), yaitu :
1.
Maskulin
(yang biasa terdapat pada laki-laki : tegas, rasional, cepat membuat keputusan,
dan lain-lain).
2.
Feminim
(yang biaa terdapat pada perempuan : lemah-lembut, emosional, lebih suka
mengikuti keputusan, dan lain-lain).
3.
Androgin
(pria atau perempuan yang mempunyai sifat maskulin maupun feminim yang sama
kuat).
4.
Tak
tergolongkan (dalam tes gender menunjukkan skor maskulin dan feminim yang
sama-sama rendah).
Kondisi-kondisi yang memudahkan peningkatan mobilitas sosial pada
masa dewasa dini :
·
Tingkat
pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang
profesi yang akan membuka jalan bagi individu yang bersangkutan untuk menjalin
hubungan dengan orang-orang yang statusnya lebih tinggi.
·
Menikah
dengan orang yang statusnya lebih tinggi
·
Penerimaan
dan penerapan kebiasaan, nilai dan lambang dari suatu kelompok yang berstatus
lebih tinggi
·
Peran
serta aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat dari golongan atas[4]
Peran pakaian pada masa dewasa dini :
·
Meningkatkan
penampilan
Oarang-orang muda memilih pakaian
yang menonjolkan segi-segi positif dan menutupi segi negatifnya. Ketika
tanda-tanda ketuan mulai nampak, mereka memilih pakaian yang membuatnya tampak
lebih muda dari usia sebenarnya.
·
Indikasi
statu sosial
Orang dewasa muda, terutama mereka
yang banyak bergaul dalam lingkungan kerja maupun lingkungan sosial, memakai
pakaian sebagai simbol status yang mengidentifikasikannya dengan suatu kelompok
sosial tertentu.
·
Individualitas
Pakaian dimaksudkan untuk
menggolongkan seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu, seseorang juga
berupaya agar pakaiannya tetap menunjukkan identitasnya sebagai individu agar
diperhatikan dan dikagumi oleh anggota-anggota kelompoknya.
·
Prestasi
sosio-ekonomi
Pakaian dapat juga menunjukkan
keberhasilan ekonomi seseorang secara cepat dan subtil. Pakaian yang mahal,
peserdiaan pakaian yang berlimpah, pakaian yang dirancang oleh
desainer-desainer atau produk pabrik yang terkenal menunjukkan bahwa pemakai
memiliki banyak uang untuk membeli pakaian-pakaian mewah.
·
Meningkatkan
daya tarik
Oarang yang memiliki tubuh kurang
seksi biasanya memilih pakaian untuk meningkatkan daya tariknya.
Ciri kedewasaan pada anak perempuan
antara lain, ialah :
1.
Punya
rencana dan tujuan hidup
2.
Kerja
atau karya
3.
Pembentukan
diri dan stabilitas normativ
4.
Kemandirian
yang susila dan bertanggung jawab
5.
Partisipasi
aktif dan konstruktif
6.
Teratur,
terbentuk, ‘tertutup’ dan relativ stabil[5]
[1] Elizabeth B.
Hurlock,1980.Psikologi Perkembangan, PT Gelora Aksara Pratama: Jakarta,
hlm. 246
[2] Ibid, hlm. 247
[3] Surlito W.
Sarwono,2012. Pengantar Psikologi Umum, Rajawali Pers: Jakarta, hlm. 84
[4] Elizabeth B.
Hurlock,Op.cit. hlm. 266
[5] Ade Benih
Nirwana, 2011. Psikologi Ibu, Bayi dan Anak, Nuha Medika: Yogyakarta,
hlm. 29
0 komentar:
Posting Komentar